Asal Usul Ecobrick

Pengelolaan sampah masih terus menjadi masalah yang sulit untuk ditangani khususnya di negeri kita tercinta, Indonesia. Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Tuti Hendrawati Mintarsih, menyebut total sampah di Indonesia tahun 2019 kurang lebih mencapai 68 juta ton dan sampah plastik sendiri diperkirakan mencapai 9,52 juta ton atau 14 persen dari total sampah yang ada. 

Berdasarkan data Jenna Jambeck (2018), seorang peneliti sampah dari Universitas Georgia, Indonesia berada pada peringkat kedua di dunia penghasil sampah plastik karena mencapai sebesar 187,2 juta ton setelah China yang mencapai 262,9 juta ton. Belum lagi, sampah plastik di Indonesia menjadi sumber utama penumpukan bobot sampah, terlebih plastik diuraikan dalam waktu 1 millenium atau sekitar 1000 tahun. Bahkan banyak jenis plastik yang tidak bisa di daur ulang.

Salah satu cara agar plastik tersebut bisa lebih bermanfaat yaitu dengan mengubahnya menjadi Ecobrick. Pemahaman dan penerapan teknologi ecobrick dapat menjadi salah satu langkah strategis dalam menciptakan lingkungan yang paling efektif dan aman untuk mengurangi pembuangan sampah plastik ke TPA.

Ide Ecobrick sendiri bermula dari seorang pria asal Kanada, Russell Maier dan istrinya yang berasal dari Indonesia, Ani Himawati Maier. Pengalaman Russell dan istrinya selama tinggal di Filipina menjadi titik balik hidupnya. Keduanya mulai serius mencari cara terbaik untuk mengurangi sampah plastik tanpa memicu masalah lain, seperti polusi udara dan keracunan asap akibat pembakaran sampah plastik yang mana sampai sekarang masih sering terjadi di beberapa wilayah Indonesia.

Metode Ecobrick berasal dari kata “ecology” dan “brick” yang sering diartikan menjadi bata ramah lingkungan. Ecobrick adalah teknik pengelolaan sampah plastik yang tidak bisa didaur ulang dan kemudian dimasukan ke dalam botol-botol plastik bekas hingga penuh dan padat. Setelah botol sudah padat dan keras, botol-botol tersebut dapat dirangkai dengan lem dan bisa digunakan sebagai meja, bangku sederhana, dingklik, dan bahkan bisa berpotensi menjadi pagar.

Di Kebun Kumara, kami mendesain workshop Ecobrick sebagai kegiatan untuk membahas lebih dalam realita sampah yang kita hadapi, polusi plastik yang sudah keterlaluan, mitos daur ulang yang “menjual harapan palsu” lalu konsep upcycling sebagai cara cerdas kerja alam yang patut kita tiru dari hulu ke hilir. 

Khusus bulan Maret dan April ini, kita meluncurkan Ecobrick Workshop yang spesial untuk sekolah. Sekolahmu tertarik? Yuk pelajari proposalnya dibawah ini!

Previous
Next